Note :
Harap diperhatikan chapter ini ada adegan dewasa, baca dengan konsekuensi ditanggung sendiri.
“Yaya, mau horror?”
“Emang bagus?”
“Engga sih, tapi siapatau kan Yaya takut jadi peluk2 gue sepanjang di dalam.”
“Ogah. Lagian gue bukan penakut.”
“Oh yg romantis2 aja ya.”
“Hah? Emang loe suka yg begitu?”
“Iya suka.”
Ivan menatap gue dengan raut wajah yg meyakinkan.
Gue ga nyangka.
Tadinya gue pikir bakal action, tapi lagi ga ada yg menarik.
Sisanya paling drama keluarga n film anak2.
Ga cocok.
Jadi kita nonton film romantis, sesuai kesukaan Ivan.
Gue pikir, toh emang gue n dia ini sudah sebagai pasangan resmi jadi ga apa nonton genre romantis.
Mungkin malah bisa menginspirasi kami.
Hari ini seperti biasa, sepanjang di luar, Ivan selalu sopan, ga terlalu nempel2, sehingga interaksi kami ga menarik perhatian orang.
Tapi yg gue sadari, banyak orang yg tetap tertarik ngeliatin dia.
Dia itu mau tampil biasa pun, keberadaannya n kemasannya selalu menarik.
Gantengnya di level yg berbeda.
Belum badannya yg tinggi n besar.
Hanya dia seperti ga sadar daya tariknya.
Perhatiannya selalu terpusat ke gue.
“Ivan, loe sadar?”
Gue penasaran.
“Apa? Sadar apa?”
“Sadar klo orang2 ngeiatin Ivan seperti itu?”
“Seperti apa?”
Ivan menatap gue, lalu melihat sekeliling selewat n tersenyum manis.
“Oh.”
“Sadar.”
“Kan Om uda pernah bilang banyak yg klepek2 ngeliat Om ini.”
Ok, salah gue ungkit2.
Perasaan gue doang yg bilang Om ini ga sadar.
Gue berhenti bicara.
“Tapi tenang, pasangan yg sepadan buat Om ini hanya peri manis n imut seperti Yaya.”
Ivan bicara dengan santai n ga tau malu seperti biasa.
Tampak luar dia seperti cowo keren yg sedang ngobrol hal2 berbobot ma gue, tapi kenyataannya yg diomongin adalah gombalan ga jelas.
Seandainya dunia tau.
Ya sudahlah.
Namanya beli paket, gue beli termasuk ga tau malunya.
Ga lama tiba waktunya kami masuk.
Ivan memilih bangku paling atas, sebelah gue lorong n sebelah dia sepertinya kosong.
Begitu duduk, Ivan mengambil tangan gue.
Gue biarin, toh di dalam bioskop kan gelap.
Dia menempelkannya ke pipinya.
Hati gue berdebar2, tapi dia masih melakukannya dengan sopan jadi gue terima saja.
Gue menantikan film romantis yg cocok utk first date kami.
Tapi…
Film ini…
Banyak adegan dewasanya!
Membuat gue malu.
Gue ga berani nengok ke Ivan, ga berani menatap layar.
Utk merem, gue merasa sayang karena gue kan bayar.
Yah meski Ivan yg traktir.
Jadi gue mencoba melihat ke arah lain setiap adegan2 itu lewat.
Rupanya reaksi gue keperhatiin sama Ivan.
Tangan gue mulai menempel lama di bibirnya.
Diam2…
Jari gue diciumin!
Tadinya mau gue cuekin, tapi s-si-ku t-te-lunjukkk!
Diemut!!!
Gue menoleh n ternyata Ivan sedang menikmati jari gue sambil ngeliatin muka gue.
Kami bertatapan.
Gue mencoba menarik tangan gue, tapi dia menahannya erat2.
Malah sambil ngemut, dia menekuk jari tangannya yg bebas utk memanggil gue.
Dia mau bilang apa?
Gue mendekatkan telinga gue ke muka dia.
Tangan itu malah mengambil dagu gue, lalu dia mencium bibir gue di bioskop!
1 kali.
Ciuman ringan saja.
Gue kaget, apa ini, tapi ga berkutik.
2 kali.
Oh no, tadi sepertinya first kiss di ruang publik.
Jadi apa ini second kiss atau…ah whatever…!
3 kali.
Tangannya yg di dagu geser ke belakang leher.
Dia menempelkan bibirnya lebih dalam ke bibir gue.
Mulut gue di’makan’!
Lidahnya menginvasi!
Kami berciuman cukup panas n intens entah berapa lama.
Tangan dia merangkul bahu gue sedangkan kedua tangan gue diam di dadanya yg bidang n mulai mengelus2nya.
Sampe ada suara terengah2 sangat keras.
Gue terkejut apa itu suara kita?!
Gue buru2 dorong Ivan.
Ternyata ada adegan dewasa di film.
Seorang cowo sedang melakukan…you know lah!
Saat gue kembali melihat muka Ivan, matanya penuh napsu menatap gue.
Bayangan gue berubah menjadi Ivan yg melakukan…you know lah!
Jantung gue berdegup ga beraturan, gue ga bisa mikir apa2 lagi.
Tangan Ivan menarik leher gue kembali.
Kami melanjutkan ciuman kami.
Tangan satunya melepas tangan gue n merangkul pinggang gue mendekat.
Kali ini lebih sensual.
Apa itu sensual, entahlah, tapi kami saling menikmati kehangatan satu sama lain…
Bibir Ivan perlahan bergeser ke pipi n leher gue.
Dia menciuminya sepanjang jalan.
Gue geli sekaligus ikut bergairah.
Leher tshirt gue ditarik ke pinggir utk akses agar dia bisa mencium tulang selangka n bahu gue.
Dia meninggalkan banyak jejak di sana.
Tangan satunya yg di pinggang sudah masuk membelai2 kulit punggung gue seiring meningkatnya gairah kami.
“…uh…”
Gue sedikit mendesah.
Ivan sedikit terhenti saat mendengarnya.
Bibirnya segera kembali membungkam gue lagi.
Dia mengulum bibir gue dengan ganas.
Tangannya semakin agresif.
Tangan yg menarik tshirt, malah masuk tshirt gue dari bawah menuju dada ke bulatan kecil gue utk dipermainkan.
Sedangkan tangan yg di punggung turun menuju b*kong gue n meremas2nya.
Bagian depan gue menjadi sesak.
Suara ending dari film menyadarkan kami dari aktivitas yg entah uda berapa lama kami lakukan.
Muka Ivan tampak segar.
Kemejanya masih rapi.
Muka gue ga keruan.
Baju gue agak lecek.
Gue buru2 merapikan baju gue yg diacak2 tadi.
Bagian bawah kami lebih baik disensor.
Karena kami ber’diri’ kami harus menunggunya agak ‘turun’.
“Yaya, santai aja, ga usa buru2 kok.”
Ivan berbisik ke telinga gue.
Tentu saja harus buru2!
Apa yg sudah kami lakukan?!
Problemnya…meski memalukan…gue menikmatinya…
Ah sudahlah!
Klo gue enjoy, apa peduli kata orang.
Moto hidup baru ini penting buat kesehatan mental gue.
Ivan menuntun gue keluar.
Untungnya gue anak yg terbiasa tampil cool jadi gue bisa menutup emosi gue di muka gue ke dunia luar.
Hanya bibir kami yg merah kayak abis makan cabe level 10 yg jadi saksi bisu perbuatan kami tadi.
“Yaya haus ya? Gue juga lelah. Cari minum yuk!”
Ivan ngedipin gue penuh arti n dengan entengnya ngajak gue beli minuman.
Gue nurut.
Gue butuh air dingin utk meredakan gejolak emosi di dalam pikiran n hati gue.
Kami ngobrol sejenak di gerai minuman.
Lalu sambil membawa minuman, kami memutuskan pulang ke rumah.
HP gue bunyi.
Kak Alice telepon.
HP Ivan juga bunyi.
Om Adi telepon.
BOKAP?!
Comment