Gue n Ivan segera kembali ke rumah sakit.
Di sana nyokap, kakak2 gue, n Om Adi sudah menunggu.
Kami semua terdiam.
Setelah sejaman, dokter memberitahu kami agar selalu siap.
Nyokap n kakak2 gue memutuskan utk gantian jaga malam, sementara gue disuruh pulang sama Ivan n Om Adi.
Gue sebenernya mau sama2 mereka, tapi gue ga bisa bantu apa2.
Malam itu, gue susah tidur.
Gue nangis.
Jam12 malam, ada chat masuk.
Ivan : Yaya?
Gue buru2 mau balas.
Tapi gue bingung balas apa.
Gue sedih, tapi apa yg bisa gue lakuin utk bokap.
Jadi gue diem.
Tok!
Ga lama ada bunyi ketokan di pintu.
Mungkin di layar chat milik Ivan, gue sempat online typing, tapi ga balas2, jadi dia tau gue masih bangun.
Gue lap muka gue sebisa gue.
Terus gue buka kuncinya.
Ivan sudah pake piyama.
Dia masuk n nutup pintunya.
Perlahan nyamperin gue.
Gue dipeluk.
Gue ga tahan n nangis.
Dia cuman peluk, puk puk pala gue, belai2 punggung gue sampe gue tenang n cape.
Malam itu, gue tidur dipeluk Ivan.
Ga ada mimpi, hanya lelah.
Paginya, gue bangun, tapi Ivan uda ga ada.
HP gue juga ga ada kabar soal bokap.
Gue siap2 utk breakfast.
Hari ini Senin n gue sekolah jam 7.
Waktu gue turun, gue denger ribut2.
Gue denger teriakan Om Adi dari ruang kerja Om Adi di bawah.
Gue buru2 nyamperin sambil ragu apa gue bole ikut campur.
Tapi ga lama, Ivan keluar dari ruang kerja Om Adi.
“Yaya.”
Suaranya serak.
“Ada apa sama Om Adi?”
Gue bertanya sama dia.
Ivan menatap gue dengan sedih.
“Suatu hari, gue bakal cerita. Tapi ini sudah jam 6, harus buru2 supaya ga telat. Apa Yaya sudah makan?”
“Belum. Tapi apa Om Adi baik2 saja?”
“Dia harus baik2 saja. Dia hanya sedih.”
Senyum Ivan sangat pahit.
“Gara2 bokap?”
Gue memastikan.
“Iya. Dia hanya bisa sedih.”
Ivan mengkonfirmasi keraguan gue.
Om Adi itu sohib bokap banget.
Dia bahkan berasa lebih dari keluarga.
Bokap beruntung…bokap…
Tanpa sadar, mata gue merah lagi.
Ivan yg menyadari kesedihan gue segera memeluk gue lagi.
Hari itu gue agak telat.
Tapi karena mata gue yg merah n tatapan gue yg kosong, guru n teman2 membiarkan gue.
Rex n Ron tau kondisi bokap.
Mereka juga mencoba menghibur gue.
Meski gue mencoba biasa, tapi gue tetap pikiran.
Jam 11an, gue dipanggil guru.
Ada telepon dari keluarga gue.
Hati gue hancur.
Pikiran gue kosong.
Gue disuruh beres2 n tunggu dijemput di ruang guru.
Beberapa guru mencoba menghibur gue, tapi gue juga ga ingat apa yg mereka bilang, gue ga bisa memperhatikan apa2.
Sampe Ivan datang jemput gue.
Kami ke rumah sakit.
Nyokap n Om Adi uda di sana.
Mereka tampak tua n lelah.
Kakak2 gue ga lama nyusul.
Mata mereka juga semua merah.
Mereka mencoba tampak kuat di depan gue n mengurus semua prosedur utk memakamkan bokap.
Malam itu, gue mendengar tangisan dari bawah diikuti bunyi barang2 dilemparkan.
Ga lama Ivan naik n bertemu gue di atas.
“Ada apa?”
Suara gue uda serak kebanyakan nangis.
“Ga apa, bokap hanya sedih.”
Dia menghampiri n memeluk gue yg agak takut dengar suara berisik di bawah.
“Suatu hari gue akan cerita.”
Karena gue lelah, Ivan menemani gue tidur utk malam itu n beberapa malam sesudahnya karena utk beberapa malam itu, Om Adi sepertinya sangat sedih, sehingga suasana rumah benar2 suram.
Berikutnya semua seperti mimpi.
1 minggu berlalu.
Kami semua bergerak sesuai rutinitas saja.
Nyokap sempat masuk ke rumah sakit, tapi ga lama dia memaksa keluar.
Dia bilang gue bisa memutuskan sendiri mau pulang atau engga.
Karena Ivan dengan tegas menetapkan gue tetep stay di rumahnya, nyokap membiarkan gue di rumah Om Adi.
Hanya tiap pulang sekolah, gue selalu mampir nemenin nyokap sampe malam.
Gue sudah jarang bertemu Om Adi.
Dari Ivan, gue dapat info Om Adi melakukan perjalanan ke beberapa tempat kenangan yg pernah dia datangi dulu bersama bokap.
Oleh karena itu, segala urusan pekerjaan menjadi tanggung jawab Ivan.
2 minggu berlalu.
Nilai ujian gue diumumkan sebelum jam istirahat pertama.
Rex n Ron menangis di pojokan.
Musuhin gue yg dapat nilai biru.
Kita kembali baikan di jam istirahat kedua.
Anna dapat nilai terbaik di kelas kami
Ron memuji2nya.
Alfred juga dapat nilai terbaik di kelas sebelah.
Rex n Ron mengata2inya.
Ivan masih mengantar jemput gue dengan setia.
Sejak kejadian waktu dia dikerumuni cewe2, sekarang dia selalu menunggu di mobil.
Nyokap berangsur membaik n perlahan bisa menerima kepergian bokap.
Gue sudah jarang lihat Om Adi di rumah.
Sekalinya bertemu saat dia pulang dari perjalanannya, dia tampak sangat kurus n tua.
Sepertinya kepergian bokap benar2 membuatnya kehilangan.
3 minggu berlalu.
Hubungan kami makin menyerupai hubungan pacaran pada umumnya.
Sejak bokap ga ada, gue benar2 mengandalkan dia sebagai pilar kekuatan gue mengatasi kesedihan.
Lambat laun, gue mulai membuka diri lagi.
Dia masih ngegombalin gue.
Tapi dia menahan utk lebih intim saat melihat kondisi gue.
Keseharian kami hanya bergandengan tangan saat sepi.
Pelukan hanya saat kami berdua.
Ciuman pun hanya di kening atau pipi saja.
Saat di mobil, dia nyetir sambil sesekali memegang tangan gue.
Tiap gue mau turun, paling dia hanya menarik bahu n mencium pipi gue.
Suatu kali saat gue sampe rumah utk nemenin nyokap.
Dia melakukan kiss bye seperti biasanya.
Tapi gue ga turun.
“Yaya kenapa?”
“Ivan…”
“Inget ga waktu pagi sebelum bokap ga ada, Om Adi nangis di ruang kerjanya.”
“Lalu…malam itu walaupun perasaan n pikiran gue ga keruan, gue ingat mendengar tangisan Om Adi di bawah.”
“Om Adi juga sudah lama ga pulang, terakhir ketemu, Om masih tampak sangat terpukul.”
“Ivan selalu bilang akan cerita.”
“Gue hanya mau tau cerita apa.”
“Apa ada hubungannya sama bokap?”
“Yaya mau tau?”
Ivan menatap ke depan.
Gue ga bisa baca ekspresinya.
“Iya.”
Gue yg saat ini, sudah lebih kuat dari sebulanan yg lalu.
“Ok. Nanti malam, kita ngobrol.”
Ivan menoleh n tersenyum ke gue.
Setelah itu, Ivan pergi.
Gue masuk ke rumah.
Nyokap sedang duduk di sofa n menatap gue.
“Yaya, baru…sudah pulang?”
“Iya. Mami lagi apa?”
“Hmm…tadi mami lagi…”
Gue melihat nyokap agak bingung.
Tapi gue lihat kedua tangannya memakai sarung tangan yg biasa dia gunakan saat berkebun.
Apa ada sesuatu?
“Yaya, Mami ini bukan orang modern. Tapi Mami ini berusaha ngertiin pikiran orang2 jaman sekarang.”
Nyokap tampak bingung.
“Ma, ada apa?”
Gue nyamperin nyokap n duduk di sebelahnya.
Ah!
Apa dia melihat sesuatu tadi?!
Gue melupakan hal penting.
“Ma, Yaya mau cerita.”
“Soal Ivan?”
Nyokap menatap gue dengan sungguh2.
“Iya. Soal Ivan n Yaya.”
Gue ngangguk.
Gue paham nyokap gue.
Dia bukan orang yg keras kepala.
Bahkan utk hal yg sangat berlawanan dengan keinginannya, dia selalu bisa mengatasinya dengan baik.
Klo orang bilang orang kuat itu harus keras n tahan banting, maka nyokap adalah orang kuat dengan segala kemampuannya beradaptasi bahkan di kondisi terburuk.
“Yaya yakin sama Ivan? Termasuk segala konsekuensinya.”
“Saat ini Yaya sangat yakin.”
Nyokap menatap gue.
Perlahan dia membuka sarung tangannya n mengelus2 kepala gue.
“Andai papimu tau.”
Gue agak bingung.
“Kenapa?”
“Karena Papi berharap kalian semua bahagia.”
Nyokap tersenyum.
Malam itu, Ivan ngejemput gue.
Dia tampak lelah.
Sejak Om Adi menyerahkan semua ke Ivan, dia jadi sering lembur.
Tapi matanya selalu berbinar2 tiap ngeliat gue.
Jadi meskipun dia lelah, urusan mengantar jemput gue selalu diutamakan olehnya.
Kali ini nyokap juga sadar.
Saat kami pamit pulang, nyokap mengambil tangan Ivan n gue, menggandengkannya.
“Sudah malam, kalian pulanglah istirahat! Toh Alice n Adel juga sudah di sini.”
Kami berpandang2an.
Gue ngerti maksud nyokap klo dia menyetujui hubungan kami, tapi Ivan tampak kaget.
Sesaat gue happy, melihat orang itu ternyata bisa juga dikerjain hohoho!
“Baik, Mami.”
Giliran gue n nyokap yg terkaget2!
SIAPA MAMIMU!!!
Comment