Malam itu sesuai janji, Ivan akan cerita sesuatu.
Setelah makan malam, dia ga langsung ke kamarnya, tapi ke kamar gue.
Kami duduk bersebelahan di atas ranjang gue.
“Di malam waktu Om Dani ga ada, mungkin Yaya ingat bokap nangis sejadi2nya?”
Gue mengangguk.
“Yg Yaya dengar saat itu bokap lepas kontrol n merusak banyak barang di bawah.”
“Sebelumnya dia mabuk n sibuk meracau, cerita soal saat pertama mereka bertemu dulu.”
“Apa saja yg terjadi dari sudut pandang bokap.”
Gue inget malam itu meski hanya samar2 karena gue sendiri lagi banyak pikiran.
Gue cuman inget ada keributan di bawah.
Keesokannya memang ada beberapa perabot yg rusak n barang yg hilang, tapi gue lagi ga bisa mikir jadi gue biarkan, lalu lupa bertanya2 lebih lanjut ke Ivan.
Ivan melanjutkan dengan cerita soal bokap gue n Om Adi.
“Bokap itu anak orang kuat, preman sekolah, banyak yg takut sama dia.”
“Om Dani dari keluarga biasa, kalem n polos.”
“Mereka begitu bertolak belakang, gimana mereka bisa berteman?”
“Itu karena dari awal niat bokap emang bukan utk berteman.”
“Di umur 15thn bokap yg masih ingusan merasa ada perasaan aneh sejak pertama melihat Om Dani.”
“Waktu itu dia belum tau artinya jatuh cinta.”
Gue kaget mendengar perasaan Om Adi.
Selama ini gue selalu pikir dia itu menganggap bokap sohib.
Ternyata…
“Anak umur segitu n dengan temparemen kayak bokap, dia menunjukkan suka dengan ngegangguin Om Dani.”
“Ga ada yg bole ganggu Om Dani, selaen bokap.”
“Berkali2 Om Dani disusahin kelakuan si anak monyet ini, tapi Om Dani selalu sabar n kalem menerima cobaan.”
“Cara anak monyet ternyata ga berhasil bikin bokap lebih dekat dengan Om Dani.”
“Baru kemudian, saat bokap lebih besar n mulai bisa bicara pake bahasa manusia, barulah mereka menjadi dekat, menjadi teman baik.”
Cara bokapnya, mengingatkan gue sama cara Ivan mendekati gue…
Like father like son huh!
“Memasuki masa kuliah bokap yg semakin dewasa, mulai berpikir klo perasaannya tidak boleh diteruskan.”
“Dia mencoba mengalihkan cinta monyetnya yg ga bermasa depan dengan banyak berpacaran n party sana sini.”
“Sementara, Om Dani kuliah baik2, menyelesaikan studi dengan damai.”
“Tapi meski niat melepas, dia selalu menjadi tempat bokap pulang dari petualangannya berganti2 cewe sana sini.
“Pada akhirnya, dia selalu kembali ke Om Dani.”
“Sepanjang bokap nempel, Om Dani ga pernah bisa dekat dengan satu cewe pun.”
“Setiap ada cewe yg menunjukkan ketertarikan, bokap selalu intervensi.”
“Sampai ada seorang teman Om Dani bernama Diana, nyokap loe.”
“Tante Diana ini, seperti loe tau, sungguh malang, sejak masuk kuliah, bokapnya sudah lama ga ada, menjelang akhir kuliah, dia ditinggal nyokapnya menjadi sebatang kara.”
“Om Dani termasuk anak yg lurus, Diana ini pun demikian.”
“Mereka berteman baik. Teman biasa saja kata bokap.”
“Akibatnya Tante Diana ini lolos dari radar bokap yg selalu waspada sama cewe2 agresif yg mau dekat2 sama Om Dani.”
“Tapi orang tua Om Dani tau anaknya punya teman cewe bernama Diana.”
“Mereka melihat anaknya ga pernah dekat dengan satu cewe pun n mereka tau Diana ini anak yatim piatu, mereka jatuh kasihan.”
“Jadi mereka membujuk anaknya utk menikahi Diana.”
“Om Dani merasa saran orang tuanya baik, jadi kedua anak yg lurus memutuskan utk menikah.”
Benar2 tipikal ortu gue banget.
Dari dulu hubungan ortu gue ga pernah ada drama, mereka selalu bersama2 dalam damai…
“Bokap sempat kaget n sedih, tapi dia merasa mungkin ini jawaban terbaik utk kegalauannya selama ini.”
“Dia tetap hadir di pernikahan Om Dani n Tante Diana.”
“Setelah mereka menikah, orang tua bokap mengambil kesempatan memperkenalkan seorang anak teman bisnisnya ke bokap, Niki, nyokap gue.”
“Sebelumnya bokap ga pernah mau dijodohkan seperti itu, tapi karena dia merasa ini waktunya dia menyerah, dia setuju.”
“Bokap menjalin hubungan sama Niki, nyokap gue hanya sebentar saja sebelum menikah.”
“Bokap dari awal terbuka ke nyokap, sehingga nyokap uda tau situasi bokap.”
“Tapi penikahan mereka itu dilatarbelakangi kepentingan 2 grup besar.”
“Jadi meski nyokap tau hati bokap ke siapa, dia tetap setuju.”
“Ga lama setelah mereka menikah, atas desakan kedua keluarga, gue lahir di tahun pertama pernikahan utk kepentingan kedua grup besar ini.”
“Meski sudah menikah n punya gue, di dalam hatinya, bokap ga pernah lupa Om Dani.”
“Setiap ada kesempatan dia selalu kembali ke Om Dani.”
“Belum setahun gue lahir, Tante Diana hamil Alice n Adel.”
“Saat itu bokap sadar, semua uda terlambat.”
“Sudah ga mungkin mendapatkan kembali Om Dani.”
“Hanya dia yg ga bisa melepaskan perasaannya n terjebak utk selamanya.”
“Melihat, tapi ga bisa memiliki, nyokap juga manusia, lama kelamaan ga tahan. Menikah seakan hidup sendiri.”
“Waktu nyokap mengajukan cerai, Om Dani berkali2 berusaha bicara dengan nyokap utk membatalkan niatnya.”
“Tapi nyokap bersikukuh ga mau, dia pergi bawa Devina.”
“Om Dani yg melihat bokap sendirian bersama gue, mencoba mendekatkan kami ke keluarganya.”
“Sampai saat ini pun, bokap masih merasakan apa yg dia pendam dari umur 15thn ke Om Dani.”
Gue selama ini di dalam gelap, ga sadar akan kesedihan orang2 di sekitar gue ini.
Bokap, Om Adi, Tante Niki, Devina, Ivan…
Gue jadi ngerti kenapa Om Adi selalu perhatian ma keluarga gue n segitu sedihnya kehilangan bokap.
“Van, apa bokap sampe saat terakhirnya ga tau perasaan Om Adi ke dia?”
“Sekitar 3 tahun yg lalu, di suatu malam saat kita berlibur bersama, sementara yg lain sudah tidur, gue ngobrol cukup lama sama Om Dani.”
“Saat itu amarah gue atas bokap n situasi sudah jauh mereda.”
“Di kesempatan itu gue bertanya, apa dia tau soal perasaan bokap.”
“Waktu itu klo dia ga tau, dia mungkin balik tanya apa maksud gue, tapi ini dia cuman terdiam sesaat, lalu bilang klo yg sudah berlalu, ga bisa diapa2kan lagi.”
“Dia sepertinya sudah mulai merasakan perasaan bokap n mengkonfirmasinya waktu bokap n nyokap cerai.”
“Gue curiga nyokap ada kelepasan juga.”
“Om Dani mendekatkan keluarga kita mungkin sebagai balasan atas perasaan bokap yg ga bisa dia balas.”
“Dia bilang dia selalu merasa sangat bersalah atas apa yg terjadi sama keluarga gue.”
Meski bukan salahnya, tapi gue ngerti perasaan bokap.
Bokap mirip gue dari segi sifat.
Ga akan tega melihat teman apalagi teman dekatnya sedih.
Apakah karena Ivan tau situasi keluarganya, sehingga sangat nakal sama gue waktu gue kecil dulu?
“Van, apa kamu dulu ga suka sama keluarga gue? Apa loe benci ma keluarga gue?”
Ivan ga menatap gue, sepanjang cerita dia menatap lurus ke depan.
“Gue pernah benci.”
“Gue tau perasaan bokap n nyokap di umur 11thn, nyokap dalam kondisi labil cerita semuanya.”
“Gue konfrontasi ke bokap, dia ga menolaknya.”
“Ga lama Yaya lahir, gue mengalihkan rasa benci gue ke Yaya yg manis.”
“Maafkan suamimu yg bedebah ini, Yaya.”
Ivan menoleh menatap gue dengan sedih sebelum kembali menatap ke depan.
“Apaan s-suami?!”
“Lanjut!”
Ivan pun melanjutkan pengakuannya.
“Bokap sangat senang menerima tawaran Om Dani soal mendekatkan keluarga, tapi gue yg dulu, engga suka.”
“Gue sengaja banyak cari masalah utk bokap n sengaja berbuat hal yg menyebalkan utk Yaya.”
“Bertahun2 gue melakukan hal bodoh dalam rangka balas dendam.”
“Sampe suatu titik gue liat orang2 ini tetap ada sama gue n nyokap move on utk kehidupan yg lebih baik, gue pun sadar betapa sia2nya perbuatan gue.”
“Saat itu gue mulai memperhatikan Yaya.”
“Yaya yg ga bersalah, tapi ikut dibawa2 ke dendam pribadi gue.”
“Yaya yg setelah gue perhatikan, sebenarnya anak yg baik n lucu, suka berpura2 cool padahal hatinya hangat.”
“Meski gue sangat kurang ajar, Yaya selalu menanggapinya dengan menggemaskan.”
Gue sedikit senang terlepas itu gombal atau engga, jadi agak salah tingkah.
“T-terus kenapa memutuskan ngejar gue?”
“Kan beresiko sekali utk hubungan 2 keluarga yg mulai membaik?”
Ivan menjadi serius.
“Waktu utk mempertimbangkan hal semacam itu, ga sebentar, butuh bertahun2, sampe akhirnya gue memutuskan utk memperjuangkan rasa gue ke Yaya.”
“Mungkin pengalaman bokap n Om Dani mempengaruhi gue.
“Gue harus memastikan ga akan mengulang kesalahan bokap n jangan sampe merusak sesuatu yg baik.”
“Jadi sekitar setahun yg lalu, akhirnya gue bicara ke Om Dani utk ngejar Yaya.”
Gue kaget.
“Jadi bokap uda tau?!”
“Setahun yg lalu??”
Ivan mengangguk.
“Saat itu Om Dani sempat bingung, gue tau2 bisa berubah rasa sedemikian ekstrim.”
“Tapi dia hanya berpesan, klo 1 pihak saja yg merasa, tapi pihak lainnya tidak, tolong dilepaskan, tapi klo 2 pihak saling merasa, jangan pernah dilepaskan.”
“Apa yg gue rasa ke Yaya adalah sesuatu yg gue ga bisa lepaskan, jadi gue harus memastikan 2 pihak saling suka.”
“Kenapa loe suka gue?”
Gue memutuskan mengulang pertanyaan yg sempat terputus waktu itu.
Ivan menghela napas, nadanya serius.
“Di depan Yaya, gue uda memperlihatkan sisi terburuk gue, masa2 kelam gue, kebencian n kesakitan gue.”
“Sama Yaya, gue uda lama menurunkan semua pertahanan, kepura2an, kepalsuan, tanpa harapan disukai sama sekali.”
“Tapi, saat gue berubah, gue baru sadar klo gue ga bisa lepas dari kenyamanan ini, ga bisa jauh atau mikir Yaya akan bersama dengan orang lain.”
Ivan menatap gue dalam2.
“Yaya, tau2 gue uda jatuh cinta sama Yaya.”
Posisi kami masih duduk bersebelahan di atas ranjang gue.
Kami bertatapan n diam membisu.
Perlahan, gue menghadap Ivan n memeluknya.
“Ivan, kita ga akan ngulang kesalahan di masa lalu, mulai sekarang kita akan saling membahagiakan.”
Lalu gue melepaskan pelukan, dengan kedua tangan gue memegang kelapa Ivan, kepala gue menghampirinya, menempelkan bibir gue ke bibirnya.
Ciuman pertama yg gue lakukan atas inisiatif gue.
Gue ingin menunjukkan, meyakinkan Ivan, klo rasa ini berjalan 2 arah, n kita akan berhasil.
Mata Ivan terbelalak saat gue melepaskan bibirnya.
Dia kaget hohoho!
Gue tersenyum lebar.
Mata Ivan berbinar2.
Perlahan suaranya yg seksi terdengar.
“Yaya, tadinya gue mau nunggu sampe kita menikah utk unboxing.”
“Tapi, sepertinya lebih cepat lebih baik.”
“Tenang, gue akan tanggung jawab sama Yaya.”
“A-apaan u-un-box…?!”
Gue ampe keselek ngomongnya.
Gue cepet2 lepasin kepalanya, segera mundur ke sudut terdalam ranjang.
Serigala Ivan menatap gue dengan lapar.
HELP!!!
Comment