Note :
Harap diperhatikan chapter ini ada adegan dewasa, baca dengan konsekuensi ditanggung sendiri.
TOLONG DIPERHATIKAN BATASAN UMUR SEBELUM MEMBACA!
Di mobil, Ivan duduk diem, matanya terpejam, ga bicara apa2.
“Van, loe masih bisa bawa mobil?”
“Apa panggil taksi aja?”
“Bisa Ya, ga mabuk kok ini.”
Ivan membuka matanya, menatap gue utk meyakinkan gue klo dia sadar.
“Ok, nyetirnya pelan2 aja.”
Gue pikir dia jujur, jadi gue ga maksa lagi.
Sepanjang jalan, Ivan ga banyak bicara.
Gue merasa ada yg berbeda.
Pelan2 gue tanya.
“Um…itu yg terakhir datang teman sekolah juga?”
Ivan ga langsung jawab.
“Adik kelas.”
“Oh.”
Gue ga biasa dia diem2 gini.
“Ada yg mau diceritain?”
Ivan menghela napas.
“Dia…pernah dekat.”
Kemudian buru2 meneruskan.
“Tapi Yaya, itu uda lama.”
“Waktu itu gue yg salah, jadi gue merasa bersalah tiap ketemu dia.”
“Mantan?”
Gue mencoba memancing lebih dalam.
“Bisa dikatakan demikian.”
Ivan menatap ke jalan dengan serius.
Suasana hening sampai di perempatan, kami terhenti lampu merah.
Tiba2 Ivan meneruskan pembicaraan tadi.
“Yaya, gue yg dulu berantakan.”
“Gue banyak menjalani hubungan dengan kacau.”
“Hal itu memalukan buat gue ceritakan.”
“Yg pasti gue banyak bikin salah.”
Suara Ivan sangat serius.
“Sementara, Yaya seperti kertas putih bersih.”
Kenapa dia insecure begitu?
Seperti bukan Ivan yg gue kenal.
“Hmm…gue emang putih, tapi apanya gue yg kertas bersih.”
“Mungkin belum pengalaman.”
“Gue kan baru 17thn.”
“Nanti seumur Ivan, kertasnya juga ada corat coret, mungkin lebih banyak daripada Ivan.”
Gue kan bukan peri, manusia sepanjang hidup membuat coretan.
Ivan terdengar geli mendengar perkataan gue.
“Tapi gue umur 17thn uda bandel banget lho.”
“Apa Yaya masih bisa terima?” lanjutnya pelan setelah jeda.
“Ya uda, jadi mesti bagaimana? Kan ga bisa diulang.”
“Yg berlalu ga bisa diapa2in lagi.”
Jawab gue dengan yakin.
Ivan tersenyum mendengar jawaban gue.
“Buat gue, Yaya yg mau menerima Ivan, sangat berharga.”
“Gue akan jaga keyakinan Yaya manis punya gue.”
Tangannya mengambil tangan gue n meremasnya.
Ok, gue klo denger gombalan seperti ini di drama2 n biasanya gue merinding.
Tapi saat Ivan ngomong barusan, hati gue malah berbunga2…
Gue tersipu n pipi gue pasti merah.
Memalukan!
Tapi biarin, yg penting gue happy.
Sampai di rumah sudah jam 11an, gue mau masuk kamar, mau beres2.
“Yaya…”
Dari belakang tangan Ivan menarik gue ke pelukannya.
“Malam ini, ke kamar gue yuk.”
Ok, ranjang di kamar Ivan lebih besar.
Apa yg gue pikirin?!
“Mmm…k-kenapa?”
Good job!
Seengganya gue bisa mengeluarkan suara bertanya.
Apa ini sesuatu yg mungkin gue harapkan?
Duh! Maluin…tapi…
“Kita…ngobrol?”
Ivan berbisik di telinga gue dengan ga meyakinkan.
Hembusan napas Ivan membuat gue merasa geli.
Mungkin telinga adalah titik lemah gue n gue gampang nyerah.
Melihat gue ga melakukan perlawanan malah menunduk malu, seperti memberi lampu hijau utk aksi selanjutnya.
Ivan mengangkat gue ala bridal style, gue merangkul lehernya utk keseimbangan.
Kami menuju kamarnya.
Kamarnya masih hanya remang2 mengandalkan cahaya yg masuk dari jendela.
Gue bisa merasakan badan gue perlahan diletakkan di atas sprei yg halus.
Kemudian, Ivan menyusul, mendorong gue perlahan, sehingga berbaring menyamping n dia di atas gue.
“Yaya…”
Bisikan Ivan membuat gue lemas.
Dia mulai menggigit n menjilat telinga gue, diikuti ciuman bertubi2 di pipi n leher gue.
Tangannya menarik kemeja gue keluar.
Dengan tangkas membuka kancing2nya.
Gue bertelanjang dada, jarinya mencari kedua bulatan di sana n mempermainkan, memilin2nya.
Tangan satunya lagi membuka kancing celana n menurunkan resleting gue.
Ga lama celana gue diturunkan, dilepaskan entah ke mana.
Celana dalam gue juga bernasib sama.
Gue hanya memakai kemeja yg kancingnya sudah terbuka semua, menahan sensasi geli permainan Ivan di kedua p*ting gue.
Setelah sekian lama, Ivan melepaskan gue.
Gue mendengar bunyi gesekan pakaian n resleting celana.
Apa Ivan melepaskan semua?!
Kemudian, tangan Ivan yg hangat menarik tubuh gue, sehingga posisi kami jadi berhadapan.
Tubuh Ivan kembali menempel dengan tubuh gue.
Kali ini, kulit tubuh kami bersentuhan langsung.
Kehangatan tubuh kami bersatu.
Tangan Ivan memegang pipi gue, ga lama bibirnya menempel dengan bibir gue.
Kami melanjutkan ciuman panas yg tadi tertunda di lantai dansa.
Sementara tangan yg lainnya, mengerayangi tubuh gue, dari leher, dada, sampai menuju p*nis gue yg mulai naik karena gairah.
Dia membelainya.
Naik turun.
Naik turun.
Rasanya sangat nikmat.
Tangan gue yg tadinya mencengkeram bahu Ivan, mulai bergerak menelusuri setiap lekuk ototnya yg kokoh, dari bahu ke lengannya yg berotot, lalu dadanya yg bidang, hingga perut kotak2nya.
Hangat, kuat, seksi.
Gue turun perlahan sampai ke batangnya yg bergesekan dengan paha gue.
Besar…
Sampai sekarang gue masih takjub sama ukurannya.
Gue ikutin ritme belaiannya.
Naik turun.
Naik turun.
Terasa hangat n panas!
Tiba2 tangannya melepaskan gengamannya di p*nis gue.
Dia melepaskan ciumannya juga.
Ivan tampak menjauh, bergeser utk mengambil sesuatu di laci nakas samping tempat tidur.
Dia masih di atas gue n tampaknya dia membuka sesuatu.
Blop! Blop! Blop!
Bunyi cairan dituangkan ke tangannya.
Tangan itu menggengam kembali p*nis gue n menyatukannya dengan p*nisnya.
Ada sensasi dinginnn!
Tapi Ivan segera menggerakkannya, sehingga ga lama terasa hangat!
Naik turun!
Naik turun!
Naik turun!
Kecepatannya meningkat!
“Ah…ahh…ahhh…”
Desahan gue membuat Ivan lebih semangat menggosokkan kedua batang kami.
Tangan yg satunya meremas b*kong gue, gantian kiri kanan, sambil sesekali menepok2nya seakan memastikan kekenyalannya.
Bibir Ivan menempel lagi.
Kami berciuman kembali dengan intens.
Tapi gue sudah ga bisa mikir, sibuk dengan yg di bawah, sehingga gue membiarkan Ivan me’makan’ mulut gue.
Tangan gue makin mencengkram bahunya yg kuat.
Desahan gue, geraman Ivan, bunyi becek kulit beradu, bunyi ciuman kami memenuhi kamarnya.
Gairah gue memuncak.
“Ah…ahh…ahhh!”
Di tengah ciuman gue ga kuasa berteriak.
Gue keluar.
“Ergh…ergh!!!”
Geraman Ivan pun menyusul terdengar.
Dia keluar juga.
Gue merem, pandangan putih.
Bagian bawah kami becek, cairan kami bersatu dengan pelumas.
Ga lama, gue merasakan sesuatu mengeras lagi di paha gue.
Ivan sudah ‘naik’ lagi!
Dia terkekeh.
“…hehe…sorry Yaya…gue ga tahan…”
Suaranya agak serak, tapi sangat seksi.
Jarinya yg becek oleh pelumas n p*ju, mendadak menuju ke lubang gue.
“Ah!”
Perlahan mencoba masuk membuat gue kaget dengan sensasinya.
“Tenang gue ga akan masukin batang gue, hanya jari…”
Karena penuh pelumas, jari itu ga lama masuk.
Rasanya aneh!
Gue mencoba menghindarinya.
Tapi tangan Ivan yg satu lagi masih megangin b*kong gue, meremas2nya.
Gue ga bisa kabur.
Pelan2 rasa aneh itu menjadi rasa lain saat mengenai suatu titik.
P*nis gue menjadi bangkit kembali.
“Ini gsp*t Yaya? Enak?”
Gue mengangguk.
Ivan tampak senang melihat ekspresi gue yg melemas.
“Gue terusin biar Yaya enak.”
Memang enak sekali, ga tertahankan.
“Dua jari mungkin bisa.”
Gue ga peduli, rasanya sangat enak sehingga bila jarinya keluar, lubang gue mencari2nya.
“Ok. Sekarang bisa tiga jari.”
Gue sudah sangat bergairah, sehingga di pikiran gue ada ide, semakin besar yg masuk akan semakin enak rasanya.
“Van, masukin please…coba masukin…please…”
Gue meracau karena sensasinya luar biasa.
“Gue mau…banget…tapi tunggu kita nikah…”
“…sekarang aja…please…sayang…”
Gue ga sampe manggil ‘sayang’ karena segitu pengennya gue mencobanya.
Sepertinya hal itu berhasil menggoyahkannya.
“…Yaya…loe seksi baaanget…gue ga kuat…”
“Gue…akan tanggung jawab…Yaya…”
Dengan napas penuh napsu, Ivan memposisikan ujung p*nisnya ke lubang gue.
Perlahan ujungnya mencoba masuk.
Sesak.
Ketat.
Sempit.
Terus berkali2…
Tarik dorong…
Tarik dorong…
Tarik dorong…
Entah berapa lama sampai setengahnya akhirnya masuk, gue uda gelinjengan keenakan karena adanya gesekan intens ke gsp*t gue.
“Ahhhhh!”
Gue menjerit, karena rasanya ga tertahankan.
Gue bisa merasakan Ivan keluar masuk di lubang gue.
Makin lama, makin cepat, makin dalam.
Sampai pandangan gue putih.
Gue keluar tanpa dik*c*k.
Handsfree!
Ivan masih dengan semangat tinggi, menarik n menghujam batangnya di lubang gue.
Mengenai gsp*t gue berulang kali.
Gue yg uda keluar barusan, mulai merasakan p*nis gue bangkit lagi.
“Ergh…ergh…ergh!”
Geraman Ivan terdengar makin keras.
Gue ga bisa melihat jelas ekspresi Ivan yg sedang bergairah.
Hanya bunyi geramannya yg seksi sudah membuat gue makin bernapsu.
“Ivan…ah…ahh…gue mau liat loe…lebih jelas…”
Suara gue serak n lirih.
Ivan tanpa mengurangi tempo sodokannya.
Mendadak mengangkat b*kong gue ke pinggir ranjang.
Kaki gue dilipat ke dadanya, sehingga p*nisnya bisa maju lebih dalam.
Tangannya ke pinggir meraih sesuatu, ga lama lampu tidur di samping menyala.
Gue akhirnya bisa melihat Ivan n posisi kami.
Pemandangan yg sangat erotis.
Tatapan penuh kenikmatan n ekspresi terangsangnya yg hanya bisa gue nikmati saat kami berhubungan seperti ini.
Ditambah penetrasinya yg lebih dalam, gue pun merasakan gelombang kenikmatan kedua datang.
“Ahhhhh!”
Gue keluar 2 kali handsfree.
Plok! Plok! Plok!
Bunyi becek dari lubang gue semakin intens.
Remasan Ivan di b*kong gue juga makin menjadi.
Bunyi kulit beradu, napas terengah2, desahan n geraman menyatu.
“F*ck! Erghhh!”
Ivan menegang.
Crot!
Crot!
Crot!
Crot!
Crot!
Dia menyusul keluar di dalam gue.
Saking banyaknya, sampai gue bisa merasakannya mengalir ke b*kong n sprei di bawah gue.
Masalahnya, batangnya yg masih agak keras, dengan cepat mengeras kembali…
Padahal p*nisnya belum keluar dr lubang gue!
“…Ivan…?”
Gue bingung.
“Sorry Yaya…gue ga tahan liat loe…gue masih kepengen…”
Jadi gue ditekan lagi, utk penetrasi lagi!
Entah berapa lama yg berikutnya.
Gue juga keluar lagi.
Lalu, keluar lagi!
Sampai Ivan akhirnya, keluar utk kedua kali…
Masih belum selesai juga.
Gue uda lelah.
Entah berapa kali gue keluar, gue uda ga bisa berpikir.
Ivan masih keluar masuk di lubang gue.
Kali ini gue dibalik, jadi posisi gue nungging n dia berlutut di belakang gue.
“…hhh…hhh…hhh…”
Suara desahan gue teredam bantal.
Gue keluar handsfree lagi.
Plak! Plak!
Sesekali Ivan menepok b*kong gue dengan gemas.
Gue pikir b*kong gue uda merah2 gara2 terus disodok n diremas.
Ivan mempercepat gerakannya, sampai dia menegang tanda dia akan keluar.
“Arghhh! F*CK!”
Kali ini dia teriak.
“Yaya sayang…posisi ini enak banget jepitnya…”
Napasnya memburu.
“…Ivan…apa…ma-masih…”
Gue kecapekan keluar terus sampe terbata2.
Tapi batang Ivan masih terasa keras di dalam, meski dia keluar barusan.
“Sekali lagi…janji…”
Ivan sepertinya kasihan liat gue.
Perlahan dia pompa gue maju mundur yg makin lama makin cepat, terus sampai gue juga keluar lagi n masih berlanjut ga kehitung berapa lamanya.
Crot!
Crot!
Crot!
Saat dikeluarkan, p*nis Ivan masih semi keras, tapi dia ga memaksa gue utk melanjutkan.
Sebaliknya dia mengangkat gue ke kamar mandi utk membasuh aroma keringat n p*ju
di sekujur tubuh kami.
Gue sempet liat p*nis Ivan mengeras lagi, tapi dia cuekin.
Gue juga ga sanggup bantu karena gue sungguh kelelahan.
Saat kami selesai n kembali ke kamar, aroma hubungan intim yg baru kami lalukan sungguh pekat.
Dibungkus mantel handuk, gue dibawa ke sofa di samping ranjang.
Sementara Ivan hanya memakai handuk di bagian bawah tubuhnya dengan tonjolan besar p*nisnya di tengah, dengan cekatan mengganti sprei, membereskan ranjang.
Gue terlalu lelah utk menikmati pemandangan menarik itu, gue yg kecapekan, tertidur di sofa.
Ga lama gue merasa melayang n mendarat di tempat selembut sutra nan empuk.
Hanya di antara belahan b*kong gue, ada ‘benda panjang’ yg menyusup!
Klo saja gue masih punya tenaga, uda gue hindari.
Tapi ‘benda’ ini malah mengesek2 belahan gue utk waktu yg lama!
Urgh…KESAL!!!
Comment